dzikir imam al ghazali dan artinya

Iakemudian juga membagi zikir harian, salah satunya ya zikir Selasa ini. Baca Juga : Cara Mengamalkan Hizib Autad. Berikut adalah bacaan zikir Selasa menurut Imam Al-Ghazali : "Allahumma solli 'ala sayyidina muhammadin nabiyyil ummiyyi wa'ala alihi wasohbihi wasallim". Artinya : Adab i'tikaf, yakni: (1) terus menerus berdzikir, (2) penuh konsentrasi, (3) tidak bercakap-cakap, (4) selalu berada di tempat, (5) tidak berpindah-pindah tempat, (6) menahan keinginan nafsu, (7) menahan diri dari kecenderungan menuruti nafsu dan (8) menaati Allah azza wa jalla." Terdapat empat rukun i'tikaf di antaranya sebagai berikut. 1. Niat SepuluhDzikir yang dianjurkan Imam Al-Ghazali (dzikir ke-5) fathul wahhab 1:04 PM Dzikir & Doa Imam Al-Ghazali, dalam karyanya, Bidâyatul Hidâyah merekomendasikan kita beberapa wiridan yang dapat kita amalkan. Didalam al-Qur'an Allah telah berfirman, "Akan Kami pasang satu timbangan yang adil di Hari Perhitungan dan tak akan ada jiwa yang dianiaya dalam segala hal. Siapa pun yang telah menempa satu butir kebaikan atau maksiat, kelak pada hari itu akan melihatnya." (Baca juga: Allah Mencintai Orang-Orang yang Lisannya Basah karena Zikir)Di dalam al-Qur'an juga tertulis, "Setiap jiwa akan melihat apa Lailaha illallah, wahdahu la syarika lah, lahul mulku, lahul hamdu, yuhyi wa yumitu, wa huwa 'ala kulli syay'in qadir. Artinya: "Tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian. Dia yang menghidupkan dan mematikan, Dia Maha Hidup tidak mati, kebaikan ada di kekuasaan-Nya. Frau Aus Ukraine Sucht Deutschen Mann. Mengamalkan wirid Imam Al Ghazali. Foto dok. Wirid Imam Al Ghazali yang Mudah Diamalkan Setiap Hariيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا , وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًاArtinya “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” QS. Al-Ahzab 41-42Mengamalkan wirid Imam Al Ghazali setelah sholat. Foto dok. كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْ هذِهِ الْكَلِمَاتِ إِمَّا مِائَةَ مَرَّةٍ أَوْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً، أَوْ عَشْرَ مَرَّاتٍ، وَهُوَ أَقَلُّهُ، لِيَكُوْنَ الْمَجْمُوْعُ مِائَةً. وَلَازِمْ هذِهِ الْأَوْرَادَ، وَلاَ تَتَكَلَّمْ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ؛ فَفِي الْخَبَرِ أَنَّ ذَلِكَ أَفْضَلُ مِنْ إِعْتَاقِ ثَمَانِ رِقَابِ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ عَلَى نَبِيِّنَا وَعَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَعْنِي الإِشْتِغَالَ بِالذِّكْرِ إِلَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَخَلَّلَهُ كَلَامٌArtinya, “Engkau ulang-ulang setiap wirid dari wirid-wirid itu, entah seratus kali atau tujuh puluh kali, atau sepuluh kali dan ini paling sedikitnya agar menjadi seratus. Dawamkan wirid-wirid ini, jangan berbicara sebelum terbitnya matahari; terdapat dalam hadits, bahwasannya tidak berbicara sebelum terbitnya matahari lebih utama dari memerdekakan delapan budak dari anak turunan Nabi Ismail sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita, yang aku maksud yaitu menyibukkan dengan dzikir sampai terbitnya matahari tanpa menyelanginya dengan pembicaraan.”الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُArtinya “yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” QS. Ar-Ra’du 28 Usaha menjadi salah satu hal yang harus dilakukan umat manusia untuk meraih apa yang diinginkan. Hanya saja, ada juga yang penting dari sekadar usaha, yaitu berdoa. Doa menjadi salah satu ikhtiar dalam meraih keinginan. Doa menjadi salah satu bukti tidak kuasanya seorang hamba tanpa disertai kehendak dari Tuhan. Bahkan, doa bisa menjadi bahan peningkatan spiritualitas untuk mendekatkan diri pada Allah. Banyak teks-teks Al-Qur’an dan hadist yang memerintahkan umat Islam untuk berdoa, di antaranya وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ Artinya, “Dan Tuhanmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu’.” QS. Ghafir 60 Dalam sebuah hadist, Rasulullah shallallâhu alaihi wasallam bersabda اَلدُّعَاءُ سِلاَحُ الْمُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّينِ وَنُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ Artinya, “Doa adalah senjata orang mukmin, pilar agama Islam, dan cahaya langit dan bumi.” HR. Al-Hakim Dua dalil naqli di atas menjadi bukti bahwa berdoa merupakan ikhtiar penting yang harus dilakukan seorang hamba. Bahkan, doa juga merupakan ibadah bagi umat Islam. Setiap perintah yang Allah perintahkan, maka mengerjakannya merupakan ibadah. Sedangkan ibadah tidak selalu tentang shalat, puasa, sedekah, zakat, dan lainnya. Berdoa juga bagian dari ibadah. Dalil di atas juga menjadi bukti untuk menolak pemahaman-pemahaman keliru yang menganggap bahwa berdoa akan mengeluarkan seseorang dari rela terhadap takdir yang Allah tentukan. Tentu tidak demikian, doa sama sekali tidak menjadi sebuah media untuk menolak takdirnya. Imam al-Ghazali menanggapi pernyataan-pernyataan demikian, dalam kitab Ihya’ Ulumiddin disebutkan وَلَا يُخْرِجُ صَاحِبَهُ عَنْ مَقَامِ الرِّضَا. وَكَذَلِكَ كَرَاهَةُ الْمَعَاصِي وَمَقْتُ أَهْلِهَا وَمَقْتُ أَسْبَابِهَا وَالسَّعْيُ فِي إِزَالَتِهَا بِالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ لَا يُنَاقِضُهُ أَيْضًا Artinya, “Doa tidak mengeluarkan orang dari maqam rela terhadap takdir. Begitu juga membenci maksiat, benci kepada pelakunya, kepada sebabnya, dan usaha untuk menghilangkannya dengan amar ma’ruf nahi munkar, semua itu tidak bertentangan dengan maqam rela terhadap takdir.” Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Bairut, Darul Ma’rifah 2010], juz IV, halaman 351. Menurut Al-Ghazali, pemahaman yang mengatakan bahwa berdoa menunjukkan sikap tidak terima pada takdir Allah merupakan pemahaman yang keliru dan perlu diluruskan. Anggapan seperti itu merupakan anggapan orang-orang yang tidak paham cara memahami takdir yang sebenarnya dan konsep ridha secara subtansial, serta lupa pilar-pilar syariat. Jika digugat, betapa banyak ayat Al-Qur’an dan hadist tentang perintah untuk rela terhadap semua kepastian Allah. Di antaranya sabda Rasulullah shallallâhu alaihi wasallam مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ رِضَاهُ بِمَا قَضَى اللهُ، وَمِنْ شَقَاوَةِ ابْنِ آدَمَ سَخَطُهُ بِمَا قَضَى اللهُ Artinya, “Termasuk keberuntungan anak Adam adalah kerelaannya terhadap apa yang telah Allah tetapkan baginya, dan termasuk kesengsaraan anak Adam adalah sikap benci tidak menerima terhadap apa yang telah Allah tetapkan baginya.” HR At-Tirmidzi Semua yang terjadi di muka bumi ini merupakan kepastian Allah sejak zaman azali. Mulai dari kaya, miskin, sehat, sakit, bahagia, menderita, susah, senang, taat, maksiat dan lain sebagainya. Tentu seorang muslim harus rela dengannya. Jika semuanya merupakan kepastian Allah, membenci atau menghindar dari semuanya menunjukkan membenci kepastian Allah. Benarkah demikian? Lantas bagaimana cara menyikapi dua dalil yang sama-sama menjadi perintah? Meyakini semua kejadian merupakan kepastian Allah adalah kewajiban bagi setiap muslim. Demikian pula rela dengan semua kejadian tersebut. Adapun berdoa merupakan perintah Allah kepada semua makhluk-Nya. Karenanya, dua hal ini menjadi rancu bagi pemikiran-pemikiran yang tidak memahami ilmu agama, utamanya ilmu yang membahas akan takdir dan doa. Tentu menjadi bumerang bagi orang-orang yang terlalu mengedepankan semua takdir Allah dengan segala ketentuannya, dan melupakan kehendak Allah dengan segala otoritas terhadap kepada-Nya. Menurut Imam al-Ghazali, bisa jadi akan muncul dua sikap berbeda dalam menyikapi satu hal. Misalnya ketika menemukan pelaku maksiat. Di satu sisi, semua pekerjaan yang dilakukan olehnya merupakan ketentuan, kehendak, dan ikhtiar Allah, maka siapa pun harus rela dengan kejadian itu sembari memasrahkan semuanya pada Allah. Namun di sisi lain, melihat bahwa aktor yang berperan dalam pekerjaan itu adalah seorang hamba yang dengan melakukan maksiat itu artinya ia menjadi orang yang dimurkai Allah, maka dari sisi ini siapa pun harus membenci perbuatan maksiatnya itu disertai dengan upaya untuk menghilangkannya. Melihat penjelasan di atas, dalam persoalan maksiat yang semuanya merupakan takdir dan ketentuan dari Allah, maka sikap yang benar menurut al-Ghazali adalah أَنَا مُحِبٌّ لَهُ وَرَاضٍ بِهِ فَإِنَّهُ رَأْيُكَ وَتَدْبِيرُكَ وَفِعْلُكَ وَإِرَادَتُكَ Artinya, “Aku mencintai dan ridha dengannya, karena semua itu merupakan pendapat-Mu, aturan-Mu, pekerjaan-Mu, dan kehendak-Mu.” Sedangkan ketika melihat sisi perbuatan maksiat seorang hamba, maka sikap yang benar adalah أَنَا كَارِهٌ لَهُ مِنْ حَيْثُ نِسْبَتُهُ إِلَيْهِ وَمِنْ حَيْثُ هُوَ وَصْفٌ لَهُ لَا مِنْ حَيْثُ هُوَ مُرَادُكَ وَمُقْتَضَى تَدْبِيرِكَ Artinya, “Saya benci dengan perbuatan maksiatnya dari sisi disandarkan kepada pelakunya dan dari sisi pekerjaan itu dilakukan olehnya. Bukan dari sisi kehendak-Mu dan konseuensi pengaturan-Mu.” Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, juz IV, halaman 351. Dari uraian di atas sangat penting kiranya memahami semua takdir Allah dan segala kepastiannya, serta ikhtiar seorang hamba, baik doa dan usaha lainnya, dengan segala kemungkinan yang bisa Allah ubah kapan saja sesuai dengan kehendak-Nya. Memahami perbedaan keduanya akan memberi pemahaman bahwa kebaikan dan kejelekan sumbernya dari Allah. Hanya saja, kebaikan merupakan kehendak Allah yang diridhai, sedangkan kejelekan adalah kehendak Allah yang dimurkai. Begitupun perihal doa. Berdoa bukan berarti menunjukkan seorang hamba tidak rela dengan takdir Allah. Secara personal, orang harus memasrahkan semuanya kepada Allah dan rela dengan takdir-Nya. Namun di sisi lain, sebagai hamba juga mempunyai hak untuk meminta apa yang ia inginkan kepada Tuhan-Nya. Sedangkan tujuan berdoa sebagaimana yang disampaikan Imam al-Ghazali adalah لِيَسْتَخْرِجَ الدُّعَاءُ مِنْهُمْ صَفَاءَ الذِّكْرِ وَخُشُوعَ الْقَلْبِ وَرِقَّةَ التَّضَرُّعِ، وَيَكُونُ ذَلِكَ جَلَاءً لِلْقَلْبِ وَمِفْتَاحًا لِلْكَشْفِ وَسَبَبًا لِتَوَاتُرِ مَزَايَا اللُّطْفِ Artinya, “Agar doa menjadi penyebab kebeningan dzikir, kepatuhan hati, kebersihan sikap lemah lembut dari para hamba. Semuanya akan menjadi sebab keterbukaan hati, menjadi kunci untuk membuka ruang tertutup hati dari Allah, dan menjadi sebab terus-menerusnya anugerah kebaikan.” Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, juz IV, halaman 351. Wallahu a’lam. Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur. Saat momen Idul Fitri, seluruh umat Islam merayakan kemenangannya setelah satu bulan penuh berperang melawan hawa nafsu. Perang, yang menurut Rasulullah, lebih berat daripada melawan batalion musuh Allah yang kasat mata. Tapi, Ramadhan usai, bukan berarti selesai sudah tugas kita sebagai seorang Muslim. Ada hal penting yang harus kita renungi bersama. Imam Al-Ghazali dalam masterpiece-nya, Ihya Ulumiddin berpesan, أن يكون قلبه بعد الإفطار معلقاً مضطرباً بين الخوف والرجاء إذ ليس يدري أيقبل صومه فهو من المقربين أو يرد عليه فهو من الممقوتين؟ وليكن كذلك في آخر كل عبادة يفرغ منها Artinya, “Setelah selesai berpuasa, tanamkanlah dalam hati antara rasa takut khauf dan harap raja’. Karena seseorang tidak tahu, apakah puasanya diterima, sehingga termasuk hamba yang dekat dengan Allah. Atau sebaliknya, puasanya ditolak, sehingga termasuk orang yang mendapat murka dari-Nya. Hendaklah setiap selesai beribadah tanamkan rasa seperti itu.” lihat Ihya Ulumiddin, cetakan al-Haramain, juz 1, hal. 236 Rasa takut khauf dan harap raja’ bagaikan dua sayap seekor burung. Jika hanya satu sayap saja, seekor burung tidak mungkin terbang dengan sempurna. Jika tidak memiliki keduanya, sayap kanan dan sayap kiri, maka burung itu akan jatuh dan tidak bisa terbang lagi. Demikian juga seorang Mukmin ketika telah melakukan ibadah. Usai ibadah itu dilaksanakan, dalam hati harus ditanamkan rasa takut dan harap. Takut, jikalau ibadahnya tidak diterima. Juga harus berharap agar ibadahnya diterima dan mendapat balasan surga dari-Nya. Antara khauf dan raja’ harus imbang. Jika rasa khauf takut berlebih, akan terlalu takut terhadap dosa dan menganggap kesalahan tidak bisa diampuni, sementara sejatinya Allah maha pemurah dan maha pengampun. Sehingga bisa timbul rasa putus asa atas ampunan dan rahmat kasih sayang Allah. Pun sebaliknya, tidak boleh raja’ berharap berlebih, karena bisa berakibat berharap berlebih akan diterimanya suatu amal perbuatan dan diampuninya dosa. Sehingga dikhawatirkan akan meremehkan dosa itu sendiri. Setelah satu bulan berpuasa dengan segala amal ibadah di dalamnya, kita juga harus tanamkan rasa takut dan harap. Tentu, selama satu bulan itu tidak sedikit kemaksiatan yang telah kita lakukan. Kita harus takut; jangan-jangan puasa kita tidak diterima. Tapi, di sisi lain juga harus diimbangi rasa harap; mengharapkan akan diterimanya segala amal ibadah yang kita lakukan selama bulan puasa dan berharap diampuninya semua kesalahan yang telah dilakukan. Gambaran khauf dan raja’ adalah sebagaimana hadis berikut, لَوْ يَعْلَمُ اْلمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْعُقُوْبَةِ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الرَّحْمَةِ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ Artinya, “Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di si Allah, niscaya tidak ada seorang mukmin pun yang menginginkan surga-Nya. Dan seandainya orang kafir itu mengetahui rahmat Allah, maka niscaya tidak ada seorang kafir pun yang berputus asa untuk mengharapkan surga-Nya.” HR. Abu Hurairah Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Khuwayri dalam Durratun Nashihin menceritakan kisah seorang laki-laki yang bernama Shalih bin Abdullah ketika bertemu dengan hari raya Idul Fitri. Berikut kisahnya. Saat Idul Fitri tiba, Shalih bin Abdullah akan pergi ke mushola untuk melaksanakan shalat. Usai shalat, Shalih langsung pulang ke rumahnya. Lalu ia kumpulkan seluruh keluarganya. Di hadapan keluarganya itu, ia mengikat lehernya dengan rantai besi dan menaburkan abu di kepala serta sekujur tubuh. Kemudian ia menangis dengan begitu keras. Melihat keganjilan itu, keluarganya heran dan bertanya, “Wahai Shalih, bukankah ini hari raya, hari bersuka cita. Kenapa engkau bersedih seperti ini?” Shalih menjawab, “Aku tahu ini adalah hari raya Idul Fitri. Tapi, selama ini aku telah melaksanakan perintah-perintah Allah, dan aku tidak tahu, apakah amalku diterima atau tidak?!” Lalu Shalih duduk di emperan mushola. Lagi-lagi, keganjilan Shalih itu memancing perhatian warga. “Mengapa engkau tidak duduk di tengah mushola saja?” tanya warga. Shalih menjawab, “Aku datang untuk meminta belas kasih rahmat Allah, maka di sini lah tempat yang layak untuk seorang peminta.” lihat Durratun Nashihin, hal 277 Kisah Shalilh di atas memiliki pesan moral yang sangat mendalam. Saat Idul Fitri tiba, kebanyakan orang memaknai hari itu sebagai hari bersuka cita. Sampai kadang terlalu larut dalam kesenangan dunia. Itulah mengapa pada malam Idul Fitri, Rasulullah menganjurkan kita untuk menghidupkankannya dengan beribadah dan memperbanyak mengingat Allah. Rasulullah saw pernah bersabda, مَنْ قَامَ لَيْلَتَىِ الْعِيدَيْنِ لِلهِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ. رواه الشافعي وابن ماجه Artinya, “Siapa saja yang qiyamul lail pada dua malam Id Idul Fitri dan Idul Adha karena Allah demi mengharap ridha-Nya, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati,” HR. As-Syafi’i dan Ibn Majah. Idul Fitri bukanlah momen berfoya-foya dengan kesenangan duniawi. Apalagi sampai lupa kepada Allah swt. Justru, menurut Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Khuwayri, hikmah adanya Idul Fitri di dunia adalah sebagai pengingat akan akhirat. Saat Idul Fitri, kita akan menyaksikan begitu banyak orang keluar rumah dengan segala macam rupanya, sebagaimana nanti di akhirat kelak. Sebagian mereka ada yang berjalan kaki, ada berkendara, ada yang memakai baju dan tidak, ada yang busananya begitu mewah, ada yang berbusana biasa saja, ada yang tertawa gembira, dan ada pula yang berduka liat Durratun Nashihin, hal 277-278 Terakhir, penulis tutup dengan syair berikut, لَيْسِ السَّعِيدُ الَّذِي دُنْيَاهُ تُسْعِدُهُ ... إِنَّ السَّعِيدَ الَّذِي يَنْجُو مِن النَّارِ أَصْبَحْتُ مِنْ سَيِّئَاتِي خَائِفًا وَجِلًا ... وَاللهُ يَعْلَمُ إِعْلَانِي وَإِسْرَارِي إِذَا تَعَاظَمَنِي ذَنْبِي وَآيَسَنِي ... رَجَوْتُ عَفْوَ عَظِيمِ العَفْوِ غَفَّارِ Artinya, “Hari Ied bukanlah orang yang bersuka ria di dunia, tetapi orang yang berbahagia karena diselamatkan dari siksa neraka.” “Betapa aku takut atas dosa-dosa, sementara Allah adalah Zat Yang Maha Mengetahui yang nampak dan tersembunyi.” “Jika dosa-dosa hamba begitu besar, hamba menyesal dan mengharap ampun dari Zat Yang Maha Pengampun”. Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon 403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID GhzSWpZ_-E7e6uGcv_mZNXGDS4nMEz6xYeLDbZ1lxvDfrYwMoWfXDQ==

dzikir imam al ghazali dan artinya